BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia yang
kaya akan berbagai Aspek, termasuk kaya akan keyakinan dalam memilih dan
memeluk beragama, menyebabkan banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
Kemungkinan dimaksud dapat berdimensi positif, bahkan bisa berujung negatif.
Namun pada umumnya banyaknya perbedaan justru mengarah pada pertentangan yang
mengakibatkan munculnya konflik.
Jika munculnya
ragam keyakinan dalam beragama, merupakan salah satu akar munculnya konflik,
tentu hal ini memerlukan jalan keluar dalam memberikan solusi khususnya yang
berkaitan dengan konflik antar umat beragama. Berbagai studi riset tentang
konflik telah banyak dilakukan oleh para ahli, namun hasilnya belum seperti apa
yang diharapkan. Hal semacam ini bisa timbul akibat pemahaman yang tidak sama.
Akibatnya hasil riset semakin tidak memiliki akses terhadap penyelesaian
konflik itu sendiri.[1]
Jika berbagai
solusi yang ditawarkan masih belum memberikan sumbangsih yang konstruktif,
tentu upaya terhadap pengelolaan konflik[2]
yang terjadi memerlukan usaha yang serius, lebih-lebih jika yang dihadapi
masalah konflik agama. Dengan demikian perbedaan keyakinan tidak akan berujung
kekerasan serta pertumpahan darah.
B.
Rumusan Masalah
Masalah yang akan penulis kaji dalam makalah ini adalah: “bagaimana
solusi menghadapi konflik antar umat beragama (Islam dan Kristen) yang
dilakukan FKUB Pesawaran?”
BAB
II
KONFLIK
DAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
(FKUB)
PESAWARAN
A.
Konflik
Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial yang terjadi dalam
masyarakat. Fenomena sosial dalam masyarakat banyak ragamnya kadangkala
fenomena sosial berkembang menjadi suatu masalah sosial akibat perbedaan cara
pandang mengenai Fenomena tersebut. Dalam menyelesaikan masalah social
dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya. Teori- teori tersebut lahir dari
pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari. Karena setiap
individu mengalami pengalaman yang berbeda maka teori yang muncul juga akan
berbeda pula antara satu individu dengan individu lainnya.[3]
Di zaman modern[4]
ini, orang dengan berbagai aktivitas dan kepentingan silih berganti, kadang
dapat membuat seorang individu atau suatu kelompok mengalami disfungsi atau
persinggungan dengan individu atau kelompok yang lain yang akan mengakibatkan
konflik.[5]
Konflik yang berkepanjangan kadang dapat memperburuk tatanan sosial masyarakat.
Namun, konflik juga berperan positif dalam memperkuat persatuan dan
menghilangkan konflik intern dalam suatu kelompok. Konflik dimanapun bentuknya
merupakan sesuatu yang wajar terjadi.[6]
Konflik senantiasa ada dalam setiap sistem sosial. Dapat dikatakan konflik
merupakan suatu ciri dari sistem sosial. Tanpa konflik suatu hubungan tidak
akan hidup. Sedangkan ketiadaan konflik dapat menadakan terjadinya penekanan
masalah yang suatu saat nanti akan timbul suatu ledakan yang benar- benar
kacau. Untuk itu dibutuhkan suatu teori yang dapat menekan bahkan memusnahkan
konflik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.[7]
Indonesia
sebagai Negara multikultural, yang
memiliki keanekaragaman baik dalam hal bahasa,suku,ras/etnis dan agama
khususnya memang rawan terjadi konflik. Tuduhan bahwa agama ikut andil
dalam memicu konflik atau bahkan sebagai sumber konflik yang terjadi antar umat
beragama memang sulit dibantah. Di Indonesia sendiri ada 6 agama yang diakui
oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.
Agama merupakan naungan sacral yang melindungi manusia dari situasi kekacauan
(chaos). Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai
kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk
untuk hidup selamat di dunia dan akhirat,yaitu sebagai manusia yang bertakwa
kepada Tuhannya,beradab dan manusiawi yamg berbeda dari cara-cara hidup hewan
atau mahkluk lainnya.[8]
Jadi tidak
seharusnya agama menjadi factor penyebab konflik. Karena agama sendiri sebagai
system keyakinan bisa menjadi bagian inti dari system nilai yang ada
dalam kebudayaan dari masyarakat, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol
bagi tindakan anggota masyarakat tertentu untuk tetap berjalan sesuai dengan
nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.
Namun pada
kenyataannya di Indonesia saat ini masih sering terjadi konflik antar umat
beragama. Masih kurangnya rasa saling pengertian dan pengetahuan para
pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama pihak lain serta kaburnya batas
antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam kehidupan
bermasyarakat menjadi sebab timbulnya ketegangan yang akhirnya memicu terjadinya
konflik. Adanya sikap etnhosentrisme yang menganggap agamanya lebih baik
daripada yang lain membuat potensi konflik menjadi semakin nyata. Menurut
Malinowski bahwa agama mendatangkan akibat-akibat lain disamping keyakinan dan
keharmonisan yang meningkat,ia juga dapat menimbulkan berbagai konflik
dengan kelompok-kelompok masyarakat lain.[9]
Indonesia
memiliki Pancasila yang merupakan ideologi Negara yang di dalamnya terdapat
nilai-nilai luhur yang mencerminkan karakter dan kepribadian bangsa. Pancasila
sebagai ideology terbuka senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Di era
globalisasi saat ini nilai-nilai Pancasila sudah semakin memudar dalam pribadi
bangsa Indonesia terutama dalam generasi muda penerus bangsa. Pancasila
seolah-olah hanya sebagai simbol pemersatu kita saja tanpa memaknai lagi
hal-hal yang terkandung di dalamnya. Ironis memang, Indonesia yang terkenal
dengan masyarakat multikultural justru bersikap anarkis ketika menghadapi
konflik antar umat beragama tersebut.
Dalam satu dasawarsa
terkahir, beberapa tragedi
kemanusiaan yang memilukan sekaligus mengkhawatirkan berlangsung silih berganti di Indonesia.[10]
Serentetan peristiwa kerusuhan sosial (riots)
itu telah membelalakkan mata semua orang tentang apa yang sedang terjadi di
negara yang dulunya dikenal damai dan ‘adem ayem’ ini. Konflik sosial
yang sejatinya merupakan bagian dari a dinamic chance dan karenanya
bersifat positif -demikian menurut Lewis Coser[11]-
telah berubah menjadi amuk massa yang nggegirisi yang sulit diprediksi
kapan berakhirnya.[12]
Tidak hanya eskalasi konflik yang kian bertambah, sifat konflik pun berkembang
tidak hanya horizontal tetapi juga vertikal.
Banyak orang susah mencari penyebab dari semua ini. Kerumitan
mengurai penyebab konflik yang mendadak sontak merebak di hampir semua tempat
di tanah air berbuntut pada
ketidakmampuan menemukan formula jitu bagi sebuah resolusi konflik yang manjur.
Sesuai dengan bentuk, jenis dan eskalasi konflik yang memang beragam, beragam
pula faktor penyebabnya. Penyebab konflik dapat berupa faktor politik, kesenjangan ekonomi,
kesenjangan budaya, sentimen etnis dan agama. Hanya saja, faktor ekonomi dan
politik sering ditunjuk berperan paling dominan dibanding dua faktor yang
disebut terakhir. Kendati acap terlihat
di lapangan bahwa konflik yang ada kerap menggunakan simbol-simbol agama
misalnya pembakaran dan perusakan tempat-tempat ibadah, penyerangan dan pembunuhan
terhadap penganut agama tetentu, namun pertentangan agama dan etnis ternyata
hanyalah faktor ikutan saja dari penyebab konflik yang lebih kompleks dengan
latar belakang sosial, ekonomi dan politik yang pekat.
Meskipun demikian, tidak ada salahnya (bahkan teramat penting untuk
diabaikan) bagi umat beragama untuk mengkaji dan menemukan cara yang efektif
bagi penghayatan, pengamalan sekaligus penyebaran ajaran agama di tengah
masyarakat Indonesia yang plural ini.
Ada beberapa alasan mengapa aktifitas demikian terasa penting untuk
dilakukan. Hal ini karena agama–disebabkan
sempitnya pemahaman para pemeluknya secara potensial memang berpeluang
menyulut konflik. Maka wajar jika banyak ilmuwan sekuler yang mengatakan bahwa
agama adalah biang kerusuhan.[13]
Tampaknya sinyalemen seperti ini terkesan
berlebihan dan cenderung menghakimi. Tetapi satu hal yang pasti, sebagaimana
sering kita dengar dalam tesis lama dalam ilmu-ilmu sosial, bahwa agama selain
menjadi faktor pemersatu sosial, juga berpeluang menjadi unsur konflik. Dua
unsur yang tak terpisahkan yang oleh
Schimmel diibaratkan seperti sisi
mata uang yang sama dalam proses kohesi dan konsensus.
Hal yang memilukan memang jika agama sebagai suatu doktrin
perdamaian namun dalam praktiknya justru malah menjadi penyulut terjadinya
konflik. Jika kondisi ini terjadi, tentu dalam penyelesaiannya memerlukan upaya
bersama, dalam bentuk kesadaran akan urgennya perdamaian dan kebersamaan.
Konflik yang
terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab.Begitu beragamnya
sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulituntuk dideskripsikan
secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Konflik dilatarbelakangi
oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatuinteraksi.
perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Sumber konflik
itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Pada umumnyapenyebab
munculnya konflik kepentingan sebagai:
1.
Perbedaan pendapat; Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan
pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau
mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka
dapat menimbulkan rasa kurang enak,
ketegangan dan sebagainya.
2.
Salah paham; Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat
menimbulkan konflik.Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya
baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain
3.
Ada pihak yang di Rugikan; salah satu pihak
mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan
pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan
merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci
4.
Perasaan sensitif ; Seseorang yang terlalu
perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan
seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain dianggap
merugikan.[14]
Selain diatas
faktor penyebab konflik juga dapat disebabkan oleh:
1.
Perbedaan individu; Perbedaan kepribadian antar
individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan
individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan
perasaan..
2.
Perbedaan latar belakang
kebudayaan; Perbedaan latar
belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang
sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian
kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda
itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu
konflik. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok manusia memiliki
perasaan,pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab
itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki
kepentingan yang berbeda- beda.
3.
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan
mendadak dalam masyarakat; Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar
terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak,
perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.[15]
Ada beberpa hal yang ditawarkan terkait dengan masalah konflik
Agama:
1.
Dialog Antar Agama
Seperti yang disebutkan dalam artikel diatas untuk mengatasi
hubungan yang tidak harmonis antar umat beragama ini dan untuk mencari jalan keluar
bagi pemecahan masalahnya, maka H. A. Mukti Ali, yang ketika itu menjabat
sebagai Menteri Agama, pada tahun 1971 melontarkan gagasan untuk dilakukannya
dialog agama. Dalam dialog kita tidak hanya saling beradu argumen dan
mempertahankan pendapat kita masing-masing yang dianggap benar. Karena pada
dasarnya dialog agama ini adalah suatu percakapan bebas,terus terang dan
bertanggung jawab yang didasari rasa saling pengertian dalam menanggulangi
masalah kehidupan bangsa baik berupa materil maupun spiritual.[16]
2.
Pendidikan Multikultural
Perlu ditanamkannya pemahaman mengenai pentingnya toleransi antar
umat beragama sejak dini. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan.
Sebagai Negara yang memiliki keanekaragaman kita harus saling menghormati dan
menghargai antar sesama. Apalagi di Indonesia yang
memiliki keanekaragaman dalam hal adat-istiadat,suku,ras/etnis,bahasa dan
agama. Perbedaan yang ada tersebut jangan sampai membuat kita tercerai berai.
Namun sebaliknya perbedaan yang ada tersebut kita anggap sebagai kekayaan
bangsa yang menjadi ciri khas bangsa kita. Perlunya ditanamkannya rasa
nasionalisme dan cinta tanah air dalam diri generasi penerus bangsa sejak dapat
membuat mereka semakin memahami dan akhirnya dapat saling menghargai setiap
perbedaan yang ada.[17]
3.
Menonjolkan segi-segi persamaan dalam
agama,tidak memperdebatkan segi-segi perbedaan dalam agama. (Pluralisme)[18]
Istilah pluralisme agama yang
baru-baru ini muncul dengan penuh janji akan menjanjikan tentang kedamaian di
muka bumi ini, yang mana sering terjadi berbagai gejolak di masyarakat pada
umumnya yang disebabkan oleh kekurang tolerannya mereka terhadap perbedaan
khususnya perbedaan agama. Dengan pluralisme mereka banyak berharap
bahkan dengan dibarengi keyakinan akan mampu mengantarkan masyarakat untuk
hidup rukun, damai antar masyarakat yang berbeda-beda suku, ras, agama,
keyakinan, status sosial walaupun keadaan masyarakat tersebut majemuk.
Dari berbagai gagasan janji pluralisme tersebut, di harapan mampu
mengatasi berbagai permasalahan yang majemuk, dan mampu memjawab berbagai
tantangan yang sering mendapat perhatian dari berbagai kalangan moderat.[19]
Istilah pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang
hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Dikatakan istilah
lama karena perbincangan mengenai pluralitas telah dielaborasi secara lebih
jauh oleh para pemikir filsafat Yunani secara konseptual dengan aneka ragam
alternatif memecahkannya. Para pemikir tersebut mendefinisikan pluralitas
secara berbeda-beda lengkap dengan beragam tawaran solusi menghadapi
pluralitas. Permenides menawarkan solusi yang berbeda dengan Heraklitos, begitu
pula pendapat Plato tidak sama dengan
apa yang dikemu-kakan Aristoteles.[20]
4.
Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
5.
Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi
yang memiliki budi pekerti luhur dan akhlakul karimah.[21]
B.
Analisis
terhadap Konflik antar Agama melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di
Pesawaran
Kasus-kasus konflik keagamaan memang bukan hal yang baru,
diberbagai belahan dunia, kasus ini sering mewarnai kehidupan social manusia.
Meskipun telah banyak upaya yang dilakukan oleh para pakar di bidangya,[22]
namun pada realitanya kasus ini masih saja timbul tenggelam sejalan dengan
kemajuan zaman. Berkaitan dengan ini, tidak jauh berbeda dengan kasus yang
terjadi di Kabupaten Pesawaran. Beberapa kasus yang terjadi di Pesawaran dapat
dilihat pada tabel berikut :
NO
|
PERISTIWA
|
WAKTU
|
TEMPAT
|
KRONOLOGIS
|
PELAKU
|
KETERANGAN
|
PENYELESAIAN
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
(7)
|
(8)
|
1
|
Rumah
tempat tinggal difungsikan sebagai rumah ibadah dan kegiatan social keagamaan
yang melibatkan ummat lain.
|
15
Agst.2011
|
Desa
Taman sari kecamatan gedongtataan
|
1.
Sebelum tanggal 21 agustus
Setiap hari minggu dirumah pendeta mulyadi dilaksanakn kegiatan keagamaan
khatolik (semacam kebaktiran) dengan jama’ah yang beasal dari luar.
2.
Warga sekitar keberatan dengan
penggunaan rumah tinggal tersebut sebagai rumah ibadah agama khatolik,
mengingat lingkungan mayoritas beragama Islam.
3.
Pada tanggal 15 Agustus 2011,
melaksaaakan kegiatan pengobatan gratis
4.
Pelaksanaan dilakukan oleh tim
medis dan Korea dan membagikan sembako.
5.
Pada Malam 21 Agustus warga
menghadap Kepala Dean untuk penyelesaian masalah.
6.
Setelah pertemuan tersebut,
kegiatan penibadatan tidak lagi dilaksanakan.
7.
Warga sudah tenang keadaan
kondusif.
|
1.
Pendeta Mulyadi
2.
Masyarakat Lingkungan Sekitar
yang beragama Islam
|
Konflik
berkaitan rumah ibadah
Kegiatan
social Keagamaan
Telah
Dilakukan upaya perdamaian di desa
|
Telah
dilaksanakan kegiatan sosialisasi PBM dan PP terkait oleh FKUB Kab. Pesawaran
dan suasana saat ini kondusif
|
2
|
Runah
tempat tinggal difungsikan sebagai rumah ibadah
|
16
Sept 2011
|
Dusun
Masgar
Desa
bumi Agung
Kecamatan
Tegineneng
|
1.
Awalnya masalah peribadi dengan
tetangga yang juga anggota Jema’at Pendeta
2.
Rumah pendeta sudah dipakai
tempat ibadah selama sepuluh tahun, meskipun belum memiliki izin pendirian
tempat ibadah baik dan lingkungan atau pemerintah setempat
3.
Rumah tersebut terdapat sarana
peribadatan yang lengkap antara lain piano 1 set, mimbar, kitab-kitab, CD
lagu-lagu rohani, gambar Kristus dan kursi jama’at 30 buah.
4.
Masyarakat sekitar menolak
kegiatan keagamaan tersebut
|
1.
Pendeta Paulus Dhraha
2.
Masyarakat Lingkungan Sekitar
yang beragama Islam
|
Konflik
berkaitan rumah ibadah
Telah
Dilakukan upaya perdamaian di desa
Masih dalam
proses penyelesaian
|
Rumah
tersebut sudah dikembalikan
fungsinya
sebagai rumah tempat tinggal
|
3
|
Runah
tempat tinggal dijadikan sebagai rumah ibadah
|
16
Maret 2013
|
Desa
kresnawidodo
Kec.
tegineneng
|
1.
Rumah pendeta imanuel dijadikan
sebagai tempat kebaktian setiap hari
minggu
2.
Pada malam 16 maret 2013 malam
masyarakat merasa terganggu dengan kegiatan tersebut (mulai diprotes)
3.
Masyarakat sekitar merasa
keberatan dengan kegiatan tersebut karena di daerah tersebut hanya ada 1 KK
yang beragama kristen
|
1.
Pendeta imanuel
2.
Masyarakat sekitar yang
beragama islam
|
Masih dalam proses penyelesaian
|
FKUB
melakukan investigasi ke tempat mengumpulkan keterangan-keterangan terkait
kasus.
Dalam
waktu dekat akan dilaksanakan dialog dan sosialisasi PBM ke desa tersebut
|
4
|
Informasi
rumah tempat tinggal difungsikan sebagai rumah ibadah
|
|
Desa hanura
|
Minta
persetujuan pendiri gereja, tapi ditolak tokoh masyarakat sekitar (muslim)
marah-marah
|
Salah satu
jama’ahnya minta persetujuan pendirian rumah ibadah
|
Kondusif
|
Diberikan penjelasan tentang peraturan
pendirian rumah ibadah
|
5
|
Rencana
perluasan fungsi gereja
|
|
Desa Roworejo
|
Adanya rencana
perluasan gereja
|
Belum ada
langkah konkrit
|
Kondusif
|
Talah
dilakukan pembinaan dan penyelesaian tahun 2012 situasi saat ini kondusif
|
Sumber : Dokumentasi
FKUB Pesawaran 2013.
Tabel tersebut menggambarkan beberapa kasus yang terjadi terkait
masalah gangguan kerukunan umat beragama yang dapat menyulut api konflik,
khususnya umat Islam dengan umat Kristen Khatolik.
Jika dilihat sepintas kilas kasus-kasus tersebut muncul berkaitan
dengan bersikukuhnya kedua belah pihak. Di satu sisi umat Islam merasa
terganggu dengan adnya gerakan umat Katholik yang berupaya memfungsikan rumah
sebagai tempat Ibadah, yang dampak negatifnya dikhawatirkan akan merambah pada upaya
kristenisasi.
Dilain pihak, meskipun telah dilakukan teguran oleh FKUB Pesawran,
namun umat Khatolik tetap bersikukuh secara diam-diam melakukan aksinya.
Kondisi semacam ini tentunya menimbulkan ketidaknyamanan umat Islam. Apalagi
mayoritas lingkungan prosentasenya lebh banyak umat Islam. Jika ini yang
menjadi masalah, tentu yang dipertaruhkan adalah masalah keyakinan (aqidah).
Dalam tabel tersebut juga dijelaskan beberapa langkah yang telah
dilakukan FKUB, seperti sosialisasi PMB dan PP, pengembalian fungsi rumah,
serta diadakannya pembinaan. Upaya yang dilakukan FKUB tentunya bisa dipandang
baik. Namun demikian, akar masalah bersikukuhnya umat Khatolik dalam
memfungsikan Rumah tempat tinggal sebagai tempat Ibadah inipun perlu diteliti.
Jika ini dilakukan, tentunya dalam penyelesaian konflik pun akan signifikan
sesuai dengan maksud umat Khatolik. Artinya penolakan yang dilakukan umat Islam
terhadap mereka tidak dianggap merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
Secara umum beberapa kasus yang terjadi di Pesawaran, jika dilihat
dari teori-teori sumber munculnya suatu konflik seperti perbedaan pendapat,
salah paham, ada pihak yang dirugikan, sensitifnya perasaan, perbedaan
individu, perbedaan budaya, dan lain sebagainya, memiliki korelasi yang
erat. Artinya konflik antar umat beragama dapat saja terjadi karena dipicu
beberapa hal yang telah disebutkan.
1.
Perbedaan pendapat,
bukan hal yang asing lagi bahwa beda pendapat yang sering dimaknai sebagai
sebuah keindahan dalam berdialog jika diambil hikmahnya, di satu sisi dapat
juga menjadi sumber konflik. Lebih-lebih jika perbedaan yang timbul bermuara
pada dua keyakinan yang berbeda, seperti halnya Islam dan Katolik yang terjadi
di Pesawaran. Ketika masing-masing memliki pendapat yang tidak memiliki titk
temu, dapat dipastikan konflik akan menjadi buah dari hasil sebuah perbedaan.
2.
Salah paham, perbedaan pendapat saja dapat menimbulkan konflik apalagi salah
paham terhadap suatu masalah. Jika kesalahpahaman yang terjadi tidak segera
diluruskan, maka konflik akan berlarut-larut, dalam artian akan menjadi konfli
berkepanjangan.
3.
Ada pihak yang dirugikan, dualisme
keyakinan yang berbeda, memunculka gagasan perlawanan yang memicu konflik
biasanya terjadi karena ada pihak yang merasa dirugikan. Dalam kasus FKUB
Pesawaran di salah satu pihak merasa benar dalam pendapatnya. Sebagaimana Islam
yang merasa dirugikan dengan kehadiran kelompok minoritas (Katolik/Kristen)
yang dilihat dari pergerakannya akan merongrong Aqidah Islamiah. Bagaimana
tidak, dalam komunitas masyarakat Islam umat Katolik telah berani mengadakan
acara kebaktian dengan mengundang umat Islam. Disamping asumsi dirugikannya
umat Islam, umat Katolik juga merasa dirugikan karena keinginan mereka
membangun rumah Ibadah (Gereja) selalu gagal dan terkesan dihalang-halangi.
4.
Sensitifnya perasaan, Perbedaan individu, Perbedaan budaya, menurut penulis hanya perperan kecil dalam memicu terjadinya
koflik. Namun demikian, tiga hal ini bukanlah sumber terjadinya konflik yang
boleh dibiarkan saja tanpa dilirik utuk dicarkan solusinya, karena bisa jadi tiga hal ini terutama masalah
budaya bia menjadi sumber utama.
Jika dilihat dari kasus yang ada pada FKUB Pesawaran, secara umum
perputarannya pada masalah pemungsian rumah warga sebagai tempat ibadah dan
keberanian umat Katolik mengajak umat Islam untuk terlibat dalam acara ritual
mereka. Akibat dari ulah kaum Katolik tersebut memicu Kemarahan umat Islam.
Dengan jerih payah usaha yang dilakukan FKUB Pesawaran beberapa
kasus dapat ditangani dengan baik. Namun demikian usaha preventif tetap harus
selalu digalakkan. Menurut penulis solusi yang perlu diterpkan dalam penangan
konflik antar umat bebeda agama agar tidak berlanjut pada konflik berdarah
adalah diadakannya dialog agama, diberikan pemhaman masalah pluralism agama,
dan yang menrik adalah dipersatukan dalam budaya gotong royong yang melibatkan
berbagai umat meskipun beda agama. Dengan ini mereka akanmerasa disamakan akan
haknya serta merasa diberi perhatian yang sama. Yang tidak boleh dilupakan juga
adalah diajarkannya akhlakul karimah. Dengan jiwa serta raga yang dibingkai
dalam nilai akhlak yang mulya konflik apapun yang terjadi tetap akan
terselesaikan dengan suasana damai dan bersahabat. Insyaa Allah.
BAB
II
PENUTUP
Masalah konflik agama bukanlah hal yang baru di dalam sejarah
kehidupan mansia. Konflik ini bisa saja terjadi sebagai refleksi dari
nilai-nilai yang diajarka dalam Agama terkait dengan masalah pembelaan terhadap
masing-masing keyakinan yang dianut, meskipun diyakini agama semestinya membawa
rahmat dan kedamaian sesuai dengan ajaran saling kasih dan mengasihi antar
sesame manusia.
Akar masalah konflik pada dasarnya timbul karena perbedaan pendapat, salah paham, ada pihak yang di Rugikan, perasaan sensitive, perbedaan
individu, Perbedaan latar belakang
kebudayaan, Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam
masyarakat.
Tekait dengan konflik agama di Pesawaran, FKUB telah melakukan
langkah-langkah sosialisasi PMB dan PP, pengembalian fungsi rumah, serta
diadakannya pembinaan. Namun bukan berarti usaha ini dapat memberikan solusi
yang signifikan dalam mengatasi konflik antar umat beragama.
Beberapa solusi yang ditawarkan dalam menangani konflik agama
sebagaimana dijelaskan di atas, adalah :
1.
Dialog antar
umat beragama
2. Pendidikan
Multikultural
3. Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama
4. Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
5. Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi
yang memiliki budi pekerti luhur dan akhlakul karimah.
Daftar
Pustaka
A.
N. Wilson, Againts Religion: Why We Should Try Live Without It, (London: Chatto and Windus,
1992)
A.
Qodri Azizy, Melawan Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Ajat Sudrajat dkk,
Din Al Islam Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: UNY Press,2008)
Al-Bana, Gama,
at-Ta’addudiyyah fiqh Mujtama’ Islamy, (Jakarta: MataAir Publishing, 2006)
Betty
R. Scharf. Kajian Sosiologi Agama.
(Yogyakarta: PT. TIARA WACANA YOGYA, )
Dadang
Kahmad. Sosiologi Agama. (Bandung :
ROSDA, )
FhawZhand, Makalah
Sosiologi "Teori Konflik", dalam: http://zempat. blogspot.com/2013/01/makalah-sosiologi-tentang-teori-konflik-by-fhawzhand.
html/ diakses pada 10 Mei 2013.
Jajat
Burhanuddin dan Arif Subhan, eds., Sistem Siaga Dini terhadap Kerusuhan
Sosial (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI dan PPIM, 2000)
Koeswinarno
dan Dudung Abdurrahman (ed), Fenomena Konflik Sosial di Indonesia; dari Aceh
sampai Papua, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, 2006)
Lewis
Coser, The Function of Social Conflict, (New York: Free Press, 1965).
M.
Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Islam
Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000)
Novri
Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, (Jakarta;
Kencana, 2010)
Nurcholis
Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995)
Rusmin
Tumanggor dkk, Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan
Masyarakat di Tanah Air, (Jakarta: LEMLIT dan UIN Syarif Hidayatullah,
2004).
Soetomo,
Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008)
Syafa’atun
Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar
Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
Syarifuddin
Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern, (Jakarta: Kencana, 2010)
[1] Koeswinarno
dan Dudung Abdurrahman (ed), Fenomena Konflik Sosial di Indonesia; dari Aceh
sampai Papua, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, 2006), h. vii.
[2] Ibid., h.
vi
[3] FhawZhand, Makalah
Sosiologi "Teori Konflik", dalam: http://zempat. blogspot.com/
2013/01/makalah-sosiologi-tentang-teori-konflik-by-fhawzhand.html/ diakses pada
10 Mei 2013.
[4] Istilah modern secara bahasa berarti baru,
kekinian, akhir, up-todate atau semacamnya. Bisa dikatakan sebagai
kebalikan dari lama, kolot atau semacamnya. Lihat A. Qodri Azizy,
Melawan Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 5.
[5] Tokoh-tokoh
Sosiologi konflik klasik di antaranya; Ibnu Khaldun (1332-1406), Emile Durkheim
(1879-1912), Max Weber (1864-1920), dan George Simmel (1858-1918), Novri Susan,
Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, (Jakarta;
Kencana, 2010), Cet. Ke 2, h. 31. Max weber dikenal sebagai tokoh sosiologi konflik,
yang mengembangkan pradigma definisi sosial. Lihat Soetomo, Masalah Sosial
dan Upaya Pemecahannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Cet. Ke 1, h.
122. Paradigm definisi sosial dikembangkan oleh mereka yang meyakini kenyataan
social, dinyatakan sebagai sesuatu yang real adalah individu. Menurut Weber
pokok soal sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan social antar hubungan
social, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada
penjelasan kausal. Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern,
(Jakarta: Kencana, 2010), Cet. Ke 1, h. 25.
[6] Ibid.
[7] Jika konflik
dipandang sebagai masalah yang bebrbahaya bagi tatanan social, tentu perlu
dimusnahkan, namun jika konflik dipahami sebagai suatu hal yang dapat
mendewasakan siapapun yang terlibat di dalamnya, tentu konflik bukan harus
dimusnahkan, namun harus dikelola dengan baik, sehingga dengan konflik yang
terjadi akan menuai hikmah bagi kehangatan hidup bersama. Baca lebih lengkap
dalam Koeswinarno dan Dudung Abdurrahman (ed), Op.Cit., h. vi.
[8] Dadang Kahmad.
Sosiologi Agama. (Bandung :
ROSDA, ), h. 63
[9] Betty R.
Scharf. Kajian Sosiologi Agama.
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, ), h. 69
[10] Dari data yang
terekspose melalui media massa, kerusuhan-kerusuhan itu antara lain terjadi di
Purwakarta (awal Novenmber 1995); Pekalongan (akhir November 1995); Tasikmalaya
(September 1996); Situbondo (Oktober 1996); Rengasdengklok (Januari 1997);
Temanggung dan Jepara (April 1997); Pontianak (April 1997); Banjarmasin (Mei
1997); Ende di Flores dan Subang (Agustus 1997) dan Mataram (Januari 2000).
Selengkapnya lihat Jajat Burhanuddin dan Arif Subhan, eds., Sistem Siaga
Dini terhadap Kerusuhan Sosial (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI dan PPIM,
2000), h. 3.
[11]Coser memang
tidak menyangkal bahwa terdapat konflik yang destruktif dan berfungsi
disintegratif. Namun ia menjelaskan bahwa ada konflik sosial yang bernilai
positif. Terdapat tiga argumentasi yang mendasari pendapatnya. Pertama, situasi
konflik akan meningkatkan kohesi internal dari kelompok-kelompok terkait; kedua,
mampu menciptakan assosiasi-assosiasi dan koalisi-koalisi baru dan ketiga,
dengan konflik akan terbangun kesimbangan kekuatan antar kelompok terlibat
Lihat, Lewis Coser, The Function of Social Conflict, (New York: Free
Press, 1965).
[12]Selain kasus
peledakan bom I, II di Bali dan Jakarta serta kota-kota lain beberapa waktu
yang lalu, kasus kerusuhan Ambon dan Poso pasca eksekusi Tibo CS. hingga
sekarang masih terus berlangsung dan belum menunjukkan tanda-tanda akan
berhenti.
[13]A. N. Wilson
misalnya menuduh agama sebagai yang paling bertanggungjawab terhadap segala
bentuk pertikaian dan perang yang
terjadi di dunia ini. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Againts Religion:
Why We Should Try Live Without It, ia
menyatakan “Dalam al-Kitab (Bible) dikatakan bahwa cinta uang adalah akar kejahatan. Mungkin lebih benar lagi
kalau dikatakan cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi
umat manusia. Ia mengajak kepada yang luhur, paling murni, paling tinggi dalam
jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut
bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan kebenaran. Marx
menggambarkan agama sebagai candu masyarakat; tetapi agama jauh lebih berbahaya
daripada candu. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk
mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat
orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sebagai pemilik kebenaran”. Lihat
A. N. Wilson, Againts Religion: Why We Should Try Live Without It, (London: Chatto and Windus,
1992), h.1 sebagaimana dikutip oleh Nurcholis Madjid, Islam Agama
Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di Indonesia (Jakarta:
Paramadina, 1995), h. 121.
[16] Ajat Sudrajat dkk, Din Al Islam Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum.Yogyakarta:
UNY Press,2008, h. 151.
[17] Dadang Kahmad,
Loc.Cit., h. 152.
[18] Identik dengan
istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, pendapat orang tentang istilah
ini juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak,
beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu
dikatakan plural pasti terdiri dari
banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang. Syafa’atun
Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar
Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 7.
[19] Lihat Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah fiqh
Mujtama’ Islamy, (Jakarta: MataAir Publishing, 2006), Cet. Ke-1, h. 8
[20] Baca M. Amin
Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, Bandung:
Mizan, 2000), h. 68.
[21] Dadang Kahmad, Loc.Cit.,
h. 152.
[22] Mengeai upaya
penanganan berbagai konflik soaial, khususnya di Indonesia, silahkan baca dalam
Koeswinarno dan Dudung Abdurrahman (ed), Loc.Cit., dan Rusmin Tumanggor
dkk, Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat
di Tanah Air, (Jakarta: LEMLIT dan UIN Syarif Hidayatullah, 2004).