Minggu, 22 September 2013



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Indonesia yang kaya akan berbagai Aspek, termasuk kaya akan keyakinan dalam memilih dan memeluk beragama, menyebabkan banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan dimaksud dapat berdimensi positif, bahkan bisa berujung negatif. Namun pada umumnya banyaknya perbedaan justru mengarah pada pertentangan yang mengakibatkan munculnya konflik.
Jika munculnya ragam keyakinan dalam beragama, merupakan salah satu akar munculnya konflik, tentu hal ini memerlukan jalan keluar dalam memberikan solusi khususnya yang berkaitan dengan konflik antar umat beragama. Berbagai studi riset tentang konflik telah banyak dilakukan oleh para ahli, namun hasilnya belum seperti apa yang diharapkan. Hal semacam ini bisa timbul akibat pemahaman yang tidak sama. Akibatnya hasil riset semakin tidak memiliki akses terhadap penyelesaian konflik itu sendiri.[1]
Jika berbagai solusi yang ditawarkan masih belum memberikan sumbangsih yang konstruktif, tentu upaya terhadap pengelolaan konflik[2] yang terjadi memerlukan usaha yang serius, lebih-lebih jika yang dihadapi masalah konflik agama. Dengan demikian perbedaan keyakinan tidak akan berujung kekerasan serta pertumpahan darah.
B.      Rumusan Masalah
Masalah yang akan penulis kaji dalam makalah ini adalah: “bagaimana solusi menghadapi konflik antar umat beragama (Islam dan Kristen) yang dilakukan FKUB Pesawaran?”
BAB II
KONFLIK DAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
(FKUB) PESAWARAN
A.      Konflik
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Fenomena sosial dalam masyarakat banyak ragamnya kadangkala fenomena sosial berkembang menjadi suatu masalah sosial akibat perbedaan cara pandang mengenai Fenomena tersebut. Dalam menyelesaikan masalah social dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya. Teori- teori tersebut lahir dari pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari. Karena setiap individu mengalami pengalaman yang berbeda maka teori yang muncul juga akan berbeda pula antara satu individu dengan individu lainnya.[3]
Di zaman modern[4] ini, orang dengan berbagai aktivitas dan kepentingan silih berganti, kadang dapat membuat seorang individu atau suatu kelompok mengalami disfungsi atau persinggungan dengan individu atau kelompok yang lain yang akan mengakibatkan konflik.[5] Konflik yang berkepanjangan kadang dapat memperburuk tatanan sosial masyarakat. Namun, konflik juga berperan positif dalam memperkuat persatuan dan menghilangkan konflik intern dalam suatu kelompok. Konflik dimanapun bentuknya merupakan sesuatu yang wajar terjadi.[6] Konflik senantiasa ada dalam setiap sistem sosial. Dapat dikatakan konflik merupakan suatu ciri dari sistem sosial. Tanpa konflik suatu hubungan tidak akan hidup. Sedangkan ketiadaan konflik dapat menadakan terjadinya penekanan masalah yang suatu saat nanti akan timbul suatu ledakan yang benar- benar kacau. Untuk itu dibutuhkan suatu teori yang dapat menekan bahkan memusnahkan konflik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.[7]
Indonesia sebagai Negara multikultural, yang memiliki keanekaragaman baik dalam hal bahasa,suku,ras/etnis dan  agama khususnya memang rawan terjadi konflik.  Tuduhan bahwa agama ikut andil dalam memicu konflik atau bahkan sebagai sumber konflik yang terjadi antar umat beragama memang sulit dibantah. Di Indonesia sendiri ada 6 agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Agama merupakan naungan sacral yang melindungi manusia dari situasi kekacauan (chaos). Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat,yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhannya,beradab dan manusiawi yamg berbeda dari cara-cara hidup hewan atau mahkluk lainnya.[8]
Jadi tidak seharusnya agama menjadi factor penyebab konflik. Karena agama sendiri sebagai system keyakinan bisa menjadi bagian  inti dari system nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan anggota masyarakat tertentu untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.
Namun pada kenyataannya di Indonesia saat ini masih sering terjadi konflik antar umat beragama. Masih kurangnya rasa saling pengertian  dan pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama pihak lain serta kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat menjadi sebab timbulnya ketegangan yang akhirnya memicu terjadinya konflik. Adanya sikap etnhosentrisme yang menganggap agamanya lebih baik daripada yang lain membuat potensi konflik menjadi semakin nyata. Menurut Malinowski bahwa agama mendatangkan akibat-akibat lain disamping keyakinan dan keharmonisan yang meningkat,ia juga dapat menimbulkan berbagai konflik dengan  kelompok-kelompok masyarakat lain.[9]
Indonesia memiliki Pancasila yang merupakan ideologi Negara yang di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang mencerminkan karakter dan kepribadian bangsa. Pancasila sebagai ideology terbuka senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Di era globalisasi saat ini nilai-nilai Pancasila sudah semakin memudar dalam pribadi bangsa Indonesia terutama dalam generasi muda penerus bangsa. Pancasila seolah-olah hanya sebagai simbol pemersatu kita saja tanpa memaknai lagi hal-hal yang terkandung di dalamnya. Ironis memang, Indonesia yang terkenal dengan masyarakat multikultural justru bersikap anarkis ketika menghadapi konflik antar umat beragama tersebut. 
Dalam satu dasawarsa  terkahir,  beberapa tragedi kemanusiaan yang memilukan sekaligus mengkhawatirkan berlangsung  silih berganti di Indonesia.[10] Serentetan peristiwa kerusuhan  sosial (riots) itu telah membelalakkan mata semua orang tentang apa yang sedang terjadi di negara yang dulunya dikenal damai dan ‘adem ayem’ ini. Konflik sosial yang sejatinya merupakan bagian dari a dinamic chance dan karenanya bersifat positif -demikian menurut Lewis Coser[11]- telah berubah menjadi amuk massa yang nggegirisi yang sulit diprediksi kapan berakhirnya.[12] Tidak hanya eskalasi konflik yang kian bertambah, sifat konflik pun berkembang tidak hanya horizontal tetapi juga vertikal.
Banyak orang susah mencari penyebab dari semua ini. Kerumitan mengurai penyebab konflik yang mendadak sontak merebak di hampir semua tempat di tanah air berbuntut  pada ketidakmampuan menemukan formula jitu bagi sebuah resolusi konflik yang manjur. Sesuai dengan bentuk, jenis dan eskalasi konflik yang memang beragam, beragam pula faktor penyebabnya. Penyebab konflik dapat berupa  faktor politik, kesenjangan ekonomi, kesenjangan budaya, sentimen etnis dan agama. Hanya saja, faktor ekonomi dan politik sering ditunjuk berperan paling dominan dibanding dua faktor yang disebut terakhir. Kendati acap  terlihat di lapangan bahwa konflik yang ada kerap menggunakan simbol-simbol agama misalnya pembakaran dan perusakan tempat-tempat ibadah, penyerangan dan pembunuhan terhadap penganut agama tetentu, namun pertentangan agama dan etnis ternyata hanyalah faktor ikutan saja dari penyebab konflik yang lebih kompleks dengan latar belakang sosial, ekonomi dan politik yang pekat.
Meskipun demikian, tidak ada salahnya (bahkan teramat penting untuk diabaikan) bagi umat beragama untuk mengkaji dan menemukan cara yang efektif bagi penghayatan, pengamalan sekaligus penyebaran ajaran agama di tengah masyarakat Indonesia yang plural ini.  Ada be­berapa alasan mengapa aktifitas demikian terasa penting untuk dilakukan. Hal ini karena agama–disebabkan  sempitnya pemahaman para pemeluknya secara potensial memang berpeluang menyulut konflik. Maka wajar jika banyak ilmuwan sekuler yang mengatakan bahwa agama adalah biang kerusuhan.[13] Tampaknya sinyalemen  seperti ini terkesan berlebihan dan cenderung menghakimi. Tetapi satu hal yang pasti, sebagaimana sering kita dengar dalam tesis lama dalam ilmu-ilmu sosial, bahwa agama selain menjadi faktor pemersatu sosial, juga berpeluang menjadi unsur konflik. Dua unsur yang tak terpisahkan yang oleh  Schimmel diibaratkan seperti  sisi mata uang yang sama dalam proses kohesi dan konsensus.
Hal yang memilukan memang jika agama sebagai suatu doktrin perdamaian namun dalam praktiknya justru malah menjadi penyulut terjadinya konflik. Jika kondisi ini terjadi, tentu dalam penyelesaiannya memerlukan upaya bersama, dalam bentuk kesadaran akan urgennya perdamaian dan kebersamaan.
Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab.Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulituntuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatuinteraksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Pada umumnyapenyebab munculnya konflik kepentingan sebagai:
1.     Perbedaan pendapat; Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
2.     Salah paham; Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik.Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain
3.     Ada pihak yang di Rugikan; salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci
4.     Perasaan sensitif ; Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain dianggap merugikan.[14]
Selain diatas faktor penyebab konflik juga dapat disebabkan oleh:
1.     Perbedaan individu; Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan..
2.     Perbedaan latar belakang kebudayaan; Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok manusia memiliki perasaan,pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda- beda.
3.     Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat; Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.[15]


Ada beberpa hal yang ditawarkan terkait dengan masalah konflik Agama:
1.     Dialog Antar Agama
Seperti yang disebutkan dalam artikel diatas untuk mengatasi hubungan yang tidak harmonis antar umat beragama ini dan untuk mencari jalan keluar bagi pemecahan masalahnya, maka H. A. Mukti Ali, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Agama, pada tahun 1971 melontarkan gagasan untuk dilakukannya dialog agama. Dalam dialog kita tidak hanya saling beradu argumen dan mempertahankan pendapat kita masing-masing yang dianggap benar. Karena pada dasarnya  dialog agama ini adalah suatu percakapan bebas,terus terang dan bertanggung jawab yang didasari rasa saling pengertian dalam menanggulangi masalah kehidupan bangsa baik berupa materil maupun spiritual.[16]
2.     Pendidikan Multikultural
Perlu ditanamkannya pemahaman mengenai pentingnya toleransi antar umat beragama sejak dini. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Sebagai Negara yang memiliki keanekaragaman kita harus saling menghormati dan menghargai antar sesama. Apalagi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman dalam hal adat-istiadat,suku,ras/etnis,bahasa dan agama. Perbedaan yang ada tersebut jangan sampai membuat kita tercerai berai. Namun sebaliknya perbedaan yang ada tersebut kita anggap sebagai kekayaan bangsa yang menjadi ciri khas bangsa kita. Perlunya ditanamkannya rasa nasionalisme dan cinta tanah air dalam diri generasi penerus bangsa sejak dapat membuat mereka semakin memahami dan akhirnya dapat saling menghargai setiap perbedaan yang ada.[17]
3.     Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama,tidak memperdebatkan segi-segi perbedaan dalam agama. (Pluralisme)[18]
            Istilah pluralisme agama yang baru-baru ini muncul dengan penuh janji akan menjanjikan tentang kedamaian di muka bumi ini, yang mana sering terjadi berbagai gejolak di masyarakat pada umumnya yang disebabkan oleh kekurang tolerannya mereka terhadap perbedaan khususnya perbedaan agama.  Dengan pluralisme mereka banyak berharap bahkan dengan dibarengi keyakinan akan mampu mengantarkan masyarakat untuk hidup rukun, damai antar masyarakat yang berbeda-beda suku, ras, agama, keyakinan, status sosial walaupun keadaan masyarakat tersebut majemuk.  Dari berbagai gagasan janji  pluralisme tersebut, di harapan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang majemuk, dan mampu memjawab berbagai tantangan yang sering mendapat perhatian dari berbagai kalangan moderat.[19]
Istilah pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Dika­takan istilah lama karena perbincangan mengenai pluralitas telah die­laborasi secara lebih jauh oleh para pemikir filsafat Yunani secara konse­ptual dengan aneka ragam alternatif memecahkannya. Para pemikir tersebut mendefinisikan pluralitas secara berbeda-beda lengkap dengan beragam tawaran solusi menghadapi pluralitas. Permenides menawarkan solusi yang berbeda dengan Heraklitos, begitu pula pendapat Plato tidak sama  dengan apa yang dikemu-kakan Aristoteles.[20]
4.     Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
5.     Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi pekerti luhur dan akhlakul karimah.[21]

B.      Analisis terhadap Konflik antar Agama melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Pesawaran
Kasus-kasus konflik keagamaan memang bukan hal yang baru, diberbagai belahan dunia, kasus ini sering mewarnai kehidupan social manusia. Meskipun telah banyak upaya yang dilakukan oleh para pakar di bidangya,[22] namun pada realitanya kasus ini masih saja timbul tenggelam sejalan dengan kemajuan zaman. Berkaitan dengan ini, tidak jauh berbeda dengan kasus yang terjadi di Kabupaten Pesawaran. Beberapa kasus yang terjadi di Pesawaran dapat dilihat pada tabel berikut :









NO
PERISTIWA
WAKTU
TEMPAT
KRONOLOGIS
PELAKU
KETERANGAN
PENYELESAIAN
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
1
Rumah tempat tinggal difungsikan sebagai rumah ibadah dan kegiatan social keagamaan yang melibatkan ummat lain.                                                         
15 Agst.2011
Desa Taman sari kecamatan gedongtataan
1.     Sebelum tanggal 21 agustus Setiap hari minggu dirumah pendeta mulyadi dilaksanakn kegiatan keagamaan khatolik (semacam kebaktiran) dengan jama’ah yang beasal dari luar.
2.     Warga sekitar keberatan dengan penggunaan rumah tinggal tersebut sebagai rumah ibadah agama khatolik, mengingat lingkungan mayoritas beragama Islam.
3.     Pada tanggal 15 Agustus 2011, melaksaaakan kegiatan pengobatan gratis
4.     Pelaksanaan dilakukan oleh tim medis dan Korea dan membagikan sembako.
5.     Pada Malam 21 Agustus warga menghadap Kepala Dean untuk penyelesaian masalah.
6.     Setelah pertemuan tersebut, kegiatan penibadatan tidak lagi dilaksanakan.
7.     Warga sudah tenang keadaan kondusif.
1.      Pendeta Mulyadi
2.      Masyarakat Lingkungan Sekitar yang beragama Islam
Konflik berkaitan rumah ibadah

Kegiatan social Keagamaan

Telah Dilakukan upaya perdamaian di desa
Telah dilaksanakan kegiatan sosialisasi PBM dan PP terkait oleh FKUB Kab. Pesawaran dan suasana saat ini kondusif
2
Runah tempat tinggal difungsikan sebagai rumah ibadah


16 Sept 2011
Dusun Masgar
Desa bumi Agung
Kecamatan Tegineneng
1.      Awalnya masalah peribadi dengan tetangga yang juga anggota Jema’at Pendeta
2.      Rumah pendeta sudah dipakai tempat ibadah selama sepuluh tahun, meskipun belum memiliki izin pendirian tempat ibadah baik dan lingkungan atau pemerintah setempat
3.      Rumah tersebut terdapat sarana peribadatan yang lengkap antara lain piano 1 set, mimbar, kitab-kitab, CD lagu-lagu rohani, gambar Kristus dan kursi jama’at 30 buah.
4.      Masyarakat sekitar menolak kegiatan keagamaan tersebut
1.      Pendeta Paulus Dhraha
2.      Masyarakat Lingkungan Sekitar yang beragama Islam
Konflik berkaitan rumah ibadah

Telah Dilakukan upaya perdamaian di desa

Masih dalam proses penyelesaian
Rumah tersebut sudah  dikembalikan

fungsinya sebagai rumah tempat tinggal



3
Runah tempat tinggal dijadikan sebagai rumah ibadah

16 Maret 2013
Desa kresnawidodo
Kec. tegineneng
1.      Rumah pendeta imanuel dijadikan sebagai tempat  kebaktian setiap hari minggu
2.      Pada malam 16 maret 2013 malam masyarakat merasa terganggu dengan kegiatan tersebut (mulai diprotes)
3.      Masyarakat sekitar merasa keberatan dengan kegiatan tersebut karena di daerah tersebut hanya ada 1 KK yang beragama kristen 
1.      Pendeta imanuel
2.      Masyarakat sekitar yang beragama islam
 Masih dalam proses penyelesaian
FKUB melakukan investigasi ke tempat mengumpulkan keterangan-keterangan terkait kasus.
Dalam waktu dekat akan dilaksanakan dialog dan sosialisasi PBM ke desa tersebut
4
Informasi rumah tempat tinggal difungsikan sebagai rumah ibadah

Desa hanura
Minta persetujuan pendiri gereja, tapi ditolak tokoh masyarakat sekitar (muslim) marah-marah
Salah satu jama’ahnya minta persetujuan pendirian rumah ibadah
Kondusif
 Diberikan penjelasan tentang peraturan pendirian rumah ibadah
5
Rencana perluasan fungsi gereja

Desa Roworejo
Adanya rencana perluasan gereja
Belum ada langkah konkrit
Kondusif
Talah dilakukan pembinaan dan penyelesaian tahun 2012 situasi  saat ini kondusif
Sumber : Dokumentasi FKUB Pesawaran 2013.

Tabel tersebut menggambarkan beberapa kasus yang terjadi terkait masalah gangguan kerukunan umat beragama yang dapat menyulut api konflik, khususnya umat Islam dengan umat Kristen Khatolik.
Jika dilihat sepintas kilas kasus-kasus tersebut muncul berkaitan dengan bersikukuhnya kedua belah pihak. Di satu sisi umat Islam merasa terganggu dengan adnya gerakan umat Katholik yang berupaya memfungsikan rumah sebagai tempat Ibadah, yang dampak negatifnya dikhawatirkan akan merambah pada upaya kristenisasi.
Dilain pihak, meskipun telah dilakukan teguran oleh FKUB Pesawran, namun umat Khatolik tetap bersikukuh secara diam-diam melakukan aksinya. Kondisi semacam ini tentunya menimbulkan ketidaknyamanan umat Islam. Apalagi mayoritas lingkungan prosentasenya lebh banyak umat Islam. Jika ini yang menjadi masalah, tentu yang dipertaruhkan adalah masalah keyakinan (aqidah).
Dalam tabel tersebut juga dijelaskan beberapa langkah yang telah dilakukan FKUB, seperti sosialisasi PMB dan PP, pengembalian fungsi rumah, serta diadakannya pembinaan. Upaya yang dilakukan FKUB tentunya bisa dipandang baik. Namun demikian, akar masalah bersikukuhnya umat Khatolik dalam memfungsikan Rumah tempat tinggal sebagai tempat Ibadah inipun perlu diteliti. Jika ini dilakukan, tentunya dalam penyelesaian konflik pun akan signifikan sesuai dengan maksud umat Khatolik. Artinya penolakan yang dilakukan umat Islam terhadap mereka tidak dianggap merugikan  salah satu atau kedua belah pihak.
Secara umum beberapa kasus yang terjadi di Pesawaran, jika dilihat dari teori-teori sumber munculnya suatu konflik seperti perbedaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan, sensitifnya perasaan, perbedaan individu, perbedaan budaya, dan lain sebagainya, memiliki korelasi yang erat. Artinya konflik antar umat beragama dapat saja terjadi karena dipicu beberapa hal yang telah disebutkan.
1.     Perbedaan pendapat, bukan hal yang asing lagi bahwa beda pendapat yang sering dimaknai sebagai sebuah keindahan dalam berdialog jika diambil hikmahnya, di satu sisi dapat juga menjadi sumber konflik. Lebih-lebih jika perbedaan yang timbul bermuara pada dua keyakinan yang berbeda, seperti halnya Islam dan Katolik yang terjadi di Pesawaran. Ketika masing-masing memliki pendapat yang tidak memiliki titk temu, dapat dipastikan konflik akan menjadi buah dari hasil sebuah perbedaan.
2.      Salah paham, perbedaan pendapat saja dapat menimbulkan konflik apalagi salah paham terhadap suatu masalah. Jika kesalahpahaman yang terjadi tidak segera diluruskan, maka konflik akan berlarut-larut, dalam artian akan menjadi konfli berkepanjangan.
3.     Ada pihak yang dirugikan, dualisme keyakinan yang berbeda, memunculka gagasan perlawanan yang memicu konflik biasanya terjadi karena ada pihak yang merasa dirugikan. Dalam kasus FKUB Pesawaran di salah satu pihak merasa benar dalam pendapatnya. Sebagaimana Islam yang merasa dirugikan dengan kehadiran kelompok minoritas (Katolik/Kristen) yang dilihat dari pergerakannya akan merongrong Aqidah Islamiah. Bagaimana tidak, dalam komunitas masyarakat Islam umat Katolik telah berani mengadakan acara kebaktian dengan mengundang umat Islam. Disamping asumsi dirugikannya umat Islam, umat Katolik juga merasa dirugikan karena keinginan mereka membangun rumah Ibadah (Gereja) selalu gagal dan terkesan dihalang-halangi.
4.     Sensitifnya perasaan, Perbedaan individu, Perbedaan budaya, menurut penulis hanya perperan kecil dalam memicu terjadinya koflik. Namun demikian, tiga hal ini bukanlah sumber terjadinya konflik yang boleh dibiarkan saja tanpa dilirik utuk dicarkan solusinya, karena  bisa jadi tiga hal ini terutama masalah budaya bia menjadi sumber utama.
Jika dilihat dari kasus yang ada pada FKUB Pesawaran, secara umum perputarannya pada masalah pemungsian rumah warga sebagai tempat ibadah dan keberanian umat Katolik mengajak umat Islam untuk terlibat dalam acara ritual mereka. Akibat dari ulah kaum Katolik tersebut memicu Kemarahan umat Islam.
Dengan jerih payah usaha yang dilakukan FKUB Pesawaran beberapa kasus dapat ditangani dengan baik. Namun demikian usaha preventif tetap harus selalu digalakkan. Menurut penulis solusi yang perlu diterpkan dalam penangan konflik antar umat bebeda agama agar tidak berlanjut pada konflik berdarah adalah diadakannya dialog agama, diberikan pemhaman masalah pluralism agama, dan yang menrik adalah dipersatukan dalam budaya gotong royong yang melibatkan berbagai umat meskipun beda agama. Dengan ini mereka akanmerasa disamakan akan haknya serta merasa diberi perhatian yang sama. Yang tidak boleh dilupakan juga adalah diajarkannya akhlakul karimah. Dengan jiwa serta raga yang dibingkai dalam nilai akhlak yang mulya konflik apapun yang terjadi tetap akan terselesaikan dengan suasana damai dan bersahabat. Insyaa Allah.









BAB II
PENUTUP

Masalah konflik agama bukanlah hal yang baru di dalam sejarah kehidupan mansia. Konflik ini bisa saja terjadi sebagai refleksi dari nilai-nilai yang diajarka dalam Agama terkait dengan masalah pembelaan terhadap masing-masing keyakinan yang dianut, meskipun diyakini agama semestinya membawa rahmat dan kedamaian sesuai dengan ajaran saling kasih dan mengasihi antar sesame manusia.
Akar masalah konflik pada dasarnya timbul karena perbedaan pendapat, salah paham, ada pihak yang di Rugikan, perasaan sensitive, perbedaan individu, Perbedaan latar belakang kebudayaan, Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Tekait dengan konflik agama di Pesawaran, FKUB telah melakukan langkah-langkah sosialisasi PMB dan PP, pengembalian fungsi rumah, serta diadakannya pembinaan. Namun bukan berarti usaha ini dapat memberikan solusi yang signifikan dalam mengatasi konflik antar umat beragama.
Beberapa solusi yang ditawarkan dalam menangani konflik agama sebagaimana dijelaskan di atas, adalah :
1.     Dialog antar umat beragama
2.      Pendidikan Multikultural
3.      Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama
4.      Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
5.      Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi pekerti luhur dan akhlakul karimah.





Daftar Pustaka


A. N. Wilson, Againts Religion: Why We Should Try Live  Without It, (London: Chatto and Windus, 1992)
A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Ajat Sudrajat dkk, Din Al Islam Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: UNY Press,2008)
Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah fiqh Mujtama’ Islamy, (Jakarta: MataAir Publishing, 2006)
Betty R. Scharf. Kajian Sosiologi Agama. (Yogyakarta: PT. TIARA WACANA YOGYA, )
Dadang Kahmad. Sosiologi Agama. (Bandung : ROSDA,   )
FhawZhand, Makalah Sosiologi "Teori Konflik", dalam: http://zempat. blogspot.com/2013/01/makalah-sosiologi-tentang-teori-konflik-by-fhawzhand. html/  diakses pada 10 Mei 2013.
Jajat Burhanuddin dan Arif Subhan, eds., Sistem Siaga Dini terhadap Kerusuhan Sosial (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI dan PPIM, 2000)
Koeswinarno dan Dudung Abdurrahman (ed), Fenomena Konflik Sosial di Indonesia; dari Aceh sampai Papua, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2006)
Lewis Coser, The Function of Social Conflict, (New York: Free Press, 1965).
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000)
Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, (Jakarta; Kencana, 2010)
Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995)
Rusmin Tumanggor dkk, Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, (Jakarta: LEMLIT dan UIN Syarif Hidayatullah, 2004).
Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Syafa’atun Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern, (Jakarta: Kencana, 2010)


[1] Koeswinarno dan Dudung Abdurrahman (ed), Fenomena Konflik Sosial di Indonesia; dari Aceh sampai Papua, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2006), h. vii.
[2] Ibid., h. vi
[3] FhawZhand, Makalah Sosiologi "Teori Konflik", dalam: http://zempat. blogspot.com/ 2013/01/makalah-sosiologi-tentang-teori-konflik-by-fhawzhand.html/ diakses pada 10 Mei 2013.
[4] Istilah modern secara bahasa berarti baru, kekinian, akhir, up-todate atau semacamnya. Bisa dikatakan sebagai kebalikan dari lama, kolot atau semacamnya. Lihat A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 5.
[5] Tokoh-tokoh Sosiologi konflik klasik di antaranya; Ibnu Khaldun (1332-1406), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1864-1920), dan George Simmel (1858-1918), Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, (Jakarta; Kencana, 2010), Cet. Ke 2, h. 31. Max weber dikenal sebagai tokoh sosiologi konflik, yang mengembangkan pradigma definisi sosial. Lihat Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Cet. Ke 1, h. 122. Paradigm definisi sosial dikembangkan oleh mereka yang meyakini kenyataan social, dinyatakan sebagai sesuatu yang real adalah individu. Menurut Weber pokok soal sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan social antar hubungan social, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. Ke 1, h. 25.

[6] Ibid.
[7] Jika konflik dipandang sebagai masalah yang bebrbahaya bagi tatanan social, tentu perlu dimusnahkan, namun jika konflik dipahami sebagai suatu hal yang dapat mendewasakan siapapun yang terlibat di dalamnya, tentu konflik bukan harus dimusnahkan, namun harus dikelola dengan baik, sehingga dengan konflik yang terjadi akan menuai hikmah bagi kehangatan hidup bersama. Baca lebih lengkap dalam Koeswinarno dan Dudung Abdurrahman (ed), Op.Cit., h. vi.
[8] Dadang Kahmad. Sosiologi Agama. (Bandung : ROSDA,   ), h. 63
[9] Betty R. Scharf. Kajian Sosiologi Agama. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, ), h. 69
[10] Dari data yang terekspose melalui media massa, kerusuhan-kerusuhan itu antara lain terjadi di Purwakarta (awal Novenmber 1995); Pekalongan (akhir November 1995); Tasikmalaya (September 1996); Situbondo (Oktober 1996); Rengasdengklok (Januari 1997); Temanggung dan Jepara (April 1997); Pontianak (April 1997); Banjarmasin (Mei 1997); Ende di Flores dan Subang (Agustus 1997) dan Mataram (Januari 2000). Selengkapnya lihat Jajat Burhanuddin dan Arif Subhan, eds., Sistem Siaga Dini terhadap Kerusuhan Sosial (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI dan PPIM, 2000), h. 3.
[11]Coser memang tidak menyangkal bahwa terdapat konflik yang destruktif dan berfungsi disintegratif. Namun ia menjelaskan bahwa ada konflik sosial yang bernilai positif. Terdapat tiga argumentasi yang mendasari pendapatnya. Pertama, situasi konflik akan meningkatkan kohesi internal dari kelompok-kelompok terkait; kedua, mampu menciptakan assosiasi-assosiasi dan koalisi-koalisi baru dan ketiga, dengan konflik akan terbangun kesimbangan kekuatan antar kelompok terlibat Lihat, Lewis Coser, The Function of Social Conflict, (New York: Free Press, 1965).
[12]Selain kasus peledakan bom I, II di Bali dan Jakarta serta kota-kota lain beberapa waktu yang lalu, kasus kerusuhan Ambon dan Poso pasca eksekusi Tibo CS. hingga sekarang masih terus berlangsung dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
[13]A. N. Wilson misalnya menuduh agama sebagai yang paling bertanggungjawab terhadap segala bentuk pertikaian  dan perang yang terjadi di dunia ini. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Againts Religion: Why We Should Try Live  Without It, ia menyatakan “Dalam al-Kitab (Bible) dikatakan bahwa cinta uang adalah  akar kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yang luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu masyarakat; tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sebagai pemilik kebenaran”. Lihat A. N. Wilson, Againts Religion: Why We Should Try Live  Without It, (London: Chatto and Windus, 1992), h.1 sebagaimana dikutip oleh Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 121.
[15] Ibid.
[16] Ajat Sudrajat dkk, Din Al Islam Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum.Yogyakarta: UNY Press,2008, h.  151.
[17] Dadang Kahmad, Loc.Cit., h. 152.
[18] Identik dengan istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, penda­pat orang tentang istilah ini juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu dikatakan plural pasti  terdiri dari banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang. Syafa’atun Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 7.
[19] Lihat Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah fiqh Mujtama’ Islamy, (Jakarta: MataAir Publishing, 2006), Cet. Ke-1, h. 8
[20] Baca M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000), h. 68.
[21] Dadang Kahmad, Loc.Cit., h. 152.
[22] Mengeai upaya penanganan berbagai konflik soaial, khususnya di Indonesia, silahkan baca dalam Koeswinarno dan Dudung Abdurrahman (ed), Loc.Cit., dan Rusmin Tumanggor dkk, Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, (Jakarta: LEMLIT dan UIN Syarif Hidayatullah, 2004).